
GRAGEPOLITAN – Di sebuah bengkel kecil di Jalan Pegajahan Utara, tepat di samping RS Panti Abdi Darma, Kota Cirebon, suara mesin gerinda berpadu dengan ketelatenan seorang pria paruh baya. 24/9/’25
Dialah Nana, warga Pegajahan, Kelurahan Jagasatru, yang sudah puluhan tahun mengabdikan diri sebagai pengrajin batu cincin.
Setiap hari, Nana menekuni pekerjaannya dengan penuh kesabaran. Proses panjang ia jalani, mulai dari motong (memotong batu mentah), ngebentuk (menyelaraskan ukuran dan bentuk cincin), hingga nyangking (menghaluskan permukaan dan mengkilapkan batu).
“Kalau pegang batu, rasanya nggak bisa buru-buru. Harus sabar, kalau salah sedikit bisa rusak. Dari motong sampai nyangking semua butuh hati-hati,” tutur Nana sambil terus menggosok batu akik di tangannya.
Penghasilan dari profesi itu tak menentu. Kadang Nana hanya mendapat Rp100 ribu per hari, namun jika pesanan ramai bisa lebih besar. Meski demikian, pekerjaan itu tetap ia tekuni sebagai sumber nafkah bagi keluarganya.
“Hasilnya naik turun, tapi alhamdulillah masih bisa buat hidup sehari-hari. Yang penting ada yang suka sama hasil kerja saya,” tambahnya.

Bagi Nana, batu cincin bukan sekadar perhiasan, melainkan karya seni yang sarat nilai budaya. Semangatnya menjaga tradisi ini menjadi bukti bahwa meski tren batu akik naik-turun, kecintaan pada kerajinan tak pernah luntur.





Discussion about this post